Ini rasaku yang ke
entah. Tak cukup jemari ini untuk menghitungnya. Sebelumnya aku tak pernah
merasakan ‘cinta’ yang membuatku menjadi begini. Cinta yang menghadirkan rindu
yang tak mampu kutepis. Cinta yang membuatku diliputi rasa itu lagi dan lagi. Sebentuk
rasa cemburu yang menjeratku. Rasa yang menyesakkan dada, ketika penyebab
datangnya cemburu itu, hadir tanpa kompromi nyata di depan mata.
Tanpa sepengetahuannya,
acapkali aku menengok dindingnya, menengok dinding teman-temannya, bahkan blog
dan notes tak luput dari kunjunganku. Postingan di blog seseorang yang dekat
dengannya tentang “Siapa bilang cinta itu mahal”, komenan-komenan di dindingnya,
belum lagi coretan dinding berupa aduan, kemanjaan, ataupun laporan seseorang
yang lainya sedang mendapat telepon darinya, tak bisa membohongi naluriku jika
aku terbakar cemburu.
Mungkin banyak yang
menyangka aku aneh, lebay dan seterusnya. Tapi inilah rasaku. Ikhlas, seperti
kataku yang pernah kuucap, nyatanya aku tak kuasa untuk tidak mengingkarinya. Rasaku tak
bisa menolak, jika aku tak bisajika dirinya membagi cinta dengan yang lainnya.
Aku benar-benar iri dan cemburu. Dengan keakraban di obrolan yang terposting di dindingnya. Diam-diam aku ikut menyimak perbincangannya. Sungguh akrab.
**
Semenjak tahun baru
itu, nyaris aku tak berkomunikasi dengannya. Seperti ada yang salah. Dan aku
mengakuinya. Aku terlalu sibuk dengan duniaku sendiri.
Kini aku seolah
mendapati karma atas segenap kesalahanku. Aku kembali dalam kesendirianku. Tak
adalagi yang memedulikanku. Aku ingin berusaha menerima kembali kodratku. Kembali
dalam sunyi dan sepi yang dulu sempat kukecap sebelum mengenal dirinya.
Namun ternyata aku tak
mampu. Naluriku mengajak egoku untuk turun peringkat menjadi peringkat
terbawah. Aku harus mendengarkan suara hatiku. Bahwa aku tak sanggup terus
berada dalam kesunyian dan kerinduan yang begitu menyiksa.
Aku sangat rindu
perhatiannya. Sekedar sapaan emotionnya di inbox maupun di dinding rumah
mayaku.
Aku juga sangat rindu
mendengar suara merdunya melalui sambungan telepon dari seberang sana. Ceritanya
tentang Cintanya, tentang Bintangnya, tentang Adinya ataupun tentang dirinya di
sana yang diceritakan kepadaku begitu menggebu.
Aku juga rindu bisa
membagi ceritaku kepadanya. Bisa menumpahkan segala rasaku kepadanya. Bisa begitu
lepas mengisakkan tangisku kepadanya. Aku benar-benar rindu.
Terlebih hari ini,
pengumuman akademikku keluar. Dan kabar bahagia yang kutunggu sangat jauh dari
prediksi.
Aku bingung tak bisa
membagi rasaku kepada sesiapapun.
Sambil berurai airmata,
aku beranikan diri menyampaikan sedikit rasaku padanya. Akupun terkejut
mendapat balasan darinya. Bahwa dirinya merasakan hal yang sama denganku. Kami berada
pada titik komunikasi yang tidak baik.
**
Selang berapa menit,
telepon genggamku berkedip-kedip. Tanda ada panggilan masuk. Sambil tersedan,
aku angkat telpon pada panggilan ke tiga. Hanya bisa berucap salam dan
selebihnya, aku dan dirinya tak bisa menahan isak itu. Entah berapa puluh
menit, tak ada sekatapun keluar dari mulut kami. Akupun tiba-tiba menjadi gagu.
Tak bisa berkata apapun, hanya bisa terisak. Berdialog dengan pikiranku
sendiri. Hingga lamat-lamat kepalaku menjadi pusing dan berat. Aku lemas dan
tak tersadar beberapa saat.
Saat aku bisa
terbangun, telepon genggam masih berada dalam genggaman tanganku. Aku segera
mengecheck panggilan masuk beberapa puluh menit yang lalu, memastikan aku tidak
sedang bermimpi. Bahwa dirinya, benar-benar menelponku, siang tadi.
Meskipun aku dan
dirinya tak bercerita apa-apa, namun cukup membuatku sangat lega. Sesakku tak
lagi tertahan, karena sudah kutumpahkan sesiang tadi.
Terimakasih mak atas
teleponmu siang tadi. Maafkan aku yang mungkin tak menjawab salammu. Terimakasih,
masih mau menerimaku, masih mau memaafkanku dan masih mau menjadi bagian
kepingan puzzlemu di antara kepingan yang lainnya. Jangan pernah tinggalkan aku
mak, gendukmu yang teramat lemah tanpamu..
23/01/2012
23:23 wib