Ini
semua hanya fiksi ...! pekikku ketika aku mendapati selembar surat yang kini
berada dalam genggamanku. Pertahananku luruh. Sendi-sendiku terasa lemas.
Tulang-tulangku seperti terlolosi satu persatu. Aku menepuk-nepuk pipiku,
meyakinkan diriku bahwa apa yang aku baca dan temukan itu tidaklah nyata. Tapi
... mengapa pipiku benar-benar sakit? Nyatakah ini Tuhan? Aku ... benar-benar
tak siap, menerima surprise yang tak pernah aku bayangkan untuk kuterima. Aku
masih berharap, ini semua hanyalah fiksi.
Namun nyatanya, ini adalah
realita yang mau tidak mau harus aku terima. Serapi apapun ia menyimpannya,
jika Tuhan berkenan, maka tabirnyapun bisa segera tersingkap. Mungkinkah karena
Tuhan merasa sudah waktunya aku untuk mengetahui ini semua? Jikapun boleh waktu
aku putar kembali, ingin rasanya aku tak membuka almari tua itu, barang mencari
catatan kuliah yang tak jua ketemu. Mungkin saja, selembar kertas itu masih
bersemayam manis di bawah tumpukan buku-buku bekas itu. Jika saja mataku tak
penasaran ketika selembar surat itu terjatuh di lantai saat buku-buku bekas itu
aku keluarkan dari almari. Jika saja .... ah ... aku tak boleh banyak berandai
lagi. Karena sekarang, kertas itu masih berada dalam genggaman tanganku. Kertas
tua nan lusuh yang dipenuhi dengan tulisan tangan bertinta biru, tertanggal
Agustus tahun duaribu. Kertas yang kini terasa basah karena tertetesi hujan air
mata yang tak kuasa aku bendung saat membaca rangkaian kalimat yang ditulis di
selembar kertas itu. Oh Tuhan ... aku sangat tidak siap, menerima ini semua.
***
Hari ini, aku tak berselera
melakukan apapun. Aku mengunci diri di kamar. Tak ada yang memedulikanku karena
aku memang sudah terbiasa untuk selalu berdiam diri di kamar. Kertas itu masih
kusimpan. Berulangkali aku cermati tulisan tangan itu. Masih berharap kalimat
yang tertulis di situ hanyalah fiksi. Aku masih berbaik sangka karena ia pernah
menjadi guru bahasa indonesia. Mungkin saja, ia sedang membuat contoh menulis
surat kepada anak didiknya. Setidaknya, prasangkaku ini, sedikit menentramkan
hatiku sore ini.
***
Pikiranku nyalang. Tiba-tiba aku
teringat masa-masa aku masih sekolah dasar. Satu persatu kalimat yang pernah
aku dengar samar-samar dari penanam benih itu dan juga lahan ia menanam benih
kedua saudaraku lainnya, kini seolah terdengar sangat jelas. Selisih yang
katanya bumbu manis dalam sebuah bingkai kehidupan, kini menjadi godam yang
meluluhlantakkan segala macam kebanggaan memilikinya.
Bulshit ...!
Aku yang seringkali menjadi
tempat berbagi kesah rekan maupun saudaraku, menasehati mereka dan mensyukuri
segala keadaanku, kini pun merasakan kegamangan yang pernah mereka rasakan.
Hhhh ...! aku sangat malu. Malu sekali! Ingin rasanya aku pergi meninggalkan
bumi dan berpindah ke bulan ataupun planet lain.
***
Malam-malamku semenjak hari itu
terasa suram, aku merasa duniaku telah runtuh. Tiada lagi yang bisa
kubanggakan. Kesetiaan yang kuelu-elukan, hanyalah kebanggaan semu yang
berwujud maya. Dua belas tahun, ia berhasil memainkan sandiwara itu sekaligus
merangkap sebaga penulis skenario ceritanya. Dua belas tahun, entah berapa ribu
episode yang telah rampung ia tulis dan perankan sendiri sebagai tokoh
utamanya. Entahlah ... ia telah sangat berhasil, mecabik-cabik hatiku dan juga
hati kami semua.
***
Malam ini, aku mencoba merenung.
Mengembalikan fikiran jernihku. Membaca pesan Tuhan yang disiratkan dari apa
yang telah aku terima beberapa hari terakhir. Aku tercenung. Aku berusaha untuk
bisa kembali menerimanya, meski sisi melankolisku tentu saja sangat kecewa. Namun
... alangkah kejinya aku, jika aku tak memberinya ruang untuk bisa berubah.
Cukuplah Tuhan telah memberikan hukuman kepadanya selama 12 tahun ini. Bukankah
lahan untuk dia menanam benih kedua saudaraku, telah begitu legowo menerima ini
semua. Bahkan begitu rapi pula memendam rasanya, demi melihat kami merasa
bangga memiliki mereka. Betapa hebatnya ia. Masih mampu bertahan dalam kondisi
hati hancur berkeping-keping. Hanya demi kami. Buah cinta yang ditanam si
penanam benih dalam rahimnya. Ia masih begitu rasional untuk berfikir. Padahal
aku sudah sangat kalap.
Malam ini pula aku mendo’a kepada Tuhan. Agar
Engkau bisa sadar. Agar Engkau bisa bertobat. Agar hukuman yang Engkau terima
dari Tuhan selama 12 tahun ini, menjadi penggugur dosa-dosamu di masa lalu.
Bandarlampung,
05062012-22:22