Monday, April 2, 2012

Tentang Essai


Kata “essay” berasal dari bahasa Prancis, essai, artinya mencoba atau berusaha (a try or attempt). Esai adalah sebuah upaya mengkomunikasikan informasi, opini, atau perasaan, dan biasanya menyajikan argumen tentang sebuah topik  infoplease.com). Definisinya, esai adalah tulisan pendek yang biasanya berisi pandangan penulis tentang subjek tertentu.

Esai adalah karangan prosa yang membahas suatu masalah secara sepintas lalu dari sudut pandang pribadi penulisnya. Pengarang esai disebut esais. Esai sebagai satu bentuk karangan dapat bersifat informal dan formal. Esai informal mempergunakan bahasa percakapan, dengan bentuk sapaan “saya” dan seolah-olah ia berbicara langsung dengan pembacanya. Adapun esai yang formal pendekatannya serius. Pengarang mempergunakan semua persyaratan penulisan.

Tipe-tipe Esai

Ada enam tipe esai, yaitu :
1. Esai deskriptif. Esai jenis ini dapat meluliskan subjek atau objek apa saja yang dapat menarik perhatian pengarang. Ia bisa mendeskripsikan sebuah rumah, sepatu, tempat rekreasi dan sebagainya.

2. Esai tajuk. Esai jenis ini dapat dilihat dalam surat kabar dan majalah. Esai ini mempunyai satu fungsi khusus, yaitu menggambarkan pandangan dan sikap surat kabar/majalah tersebut terhadap satu topik dan isu dalam masyarakat. Dengan Esai tajuk, surat kabar tersebut membentuk opini pembaca. Tajuk surat kabar tidak perlu disertai dengan nama penulis.

3. Esai cukilan watak. Esai ini memperbolehkan seorang penulis membeberkan beberapa segi dari kehidupan individual seseorang kepada para pembaca. Lewat cukilan watak itu pembaca dapat mengetahui sikap penulis terhadap tipe pribadi yang dibeberkan. Disini penulis tidak menuliskan biografi. Ia hanya memilih bagian-bagian yang utama dari kehidupan dan watak pribadi tersebut.

4. Esai pribadi, hampir sama dengan esai cukilan watak. Akan tetapi esai pribadi ditulis sendiri oleh pribadi tersebut tentang dirinya sendiri. Penulis akan menyatakan “Saya adalah saya. Saya akan menceritakan kepada saudara hidup saya dan pandangan saya tentang hidup”. Ia membuka tabir tentang dirinya sendiri.

5. Esai reflektif. Esai reflektif ditulis secara formal dengan nada serius. Penulis mengungkapkan dengan dalam, sungguh-sungguh, dan hati-hati beberapa topik yang penting berhubungan dengan hidup, misalnya kematian, politik, pendidikan, dan hakikat manusiawi. Esai ini ditujukan kepada para cendekiawan.

6. Esai kritik. Dalam esai kritik penulis memusatkan diri pada uraian tentang seni, misalnya, lukisan, tarian, pahat, patung, teater, kesusasteraan. Esai kritik bisa ditulis tentang seni tradisional, pekerjaan seorang seniman pada masa lampau, tentang seni kontemporer. Esai ini membangkitkan kesadaran pembaca tentang pikiran dan perasaan penulis tentang karya seni. Kritik yang menyangkut karya sastra disebut kritik sastra.

Ciri-ciri Esai
  1. Berbentuk prosa, artinya dalam bentuk komunikasi biasa, menghindarkan penggunaan bahasa dan ungkapan figuratif.
  2. Menggunakan bahasa yang sangat pribadi atau personal. Ciri personal dalam penulisan esai adalah pengungkapan penulis sendiri tentang kediriannya, pandangannya, sikapnya, pikirannya, dan dugaannya kepada pembaca.
  3. Cenderung sederhana, padat dan focus pada masalah. artinya penulis memilih segi-segi yang penting dan menarik dari objek dan subjek yang hendak ditulis. Penulis memilih aspek tertentu saja untuk disampaikan kepada para pembaca.
  4. Penulis bersifat meyakinkan pembaca untuk menerima pendapat penulis.


Lakukan kegiatan ini !
  1. bacalah esai “Budaya Ketupat” !
  2. temukan pokok pikiran esai
  3. selanjutnya, catatlah pokok pikirannya!
  4. sampaikan ide atau pendapat penulis esai!
  5. ungkapkan penggunaan bahasa dalam esai!
  6. kemudian, simpulkan isi esai!




ESAI: Budaya Ketupat
Saifur Rohman
Peneliti Filsafat; Bekerja dan Menetap di Semarang

Fenomena kebudayaan Indonesia mendapati kekhasan dalam ketupat. Karena ketupat, ritual keagamaan tidak lagi persoalan hukum agama, tetapi telah merasuk pada kebiasaan, pranata sosial, hingga instrumen komunikasi virtual maupun aktual.

Seorang sarjana bidang kajian budaya tidak dapat dikatakan paham secara emik latar masyarakat Indonesia jika tidak mampu membelah makna ketupat. Persoalan yang dihadapi para ahli, seberapa jauh makna ketupat relevan dalam pembentukan kebudayaan Indonesia modern?

Selama ini, kita baru tahu dari kajian antropologi struktural Claude Levi-Strauss tentang hubungan makanan dan kebudayaan. Buku Myth and Meaning (1978) mampu menjelaskan hasil-hasil kajiannya tentang kode-kode kebudayaan melalui makanan tertentu yang dipilih sebuah suku. Raymond Thallis (1996) meneliti hubungan antara makanan, pembentukan kosakata, dan identitas kebudayaan.

Sebagai contoh, dibandingkan dengan Barat yang minim, kekayaan kosakata untuk buah kelapa kecil sampai tua menunjukkan, kebudayaan Indonesia amat terkait dengan lingkungan pantai tempat pohon kelapa tumbuh.

Fase kehidupan

Berdasar perspektif itu, tidak sulit dipahami adanya menu makanan yang berbeda untuk mengenang aneka peristiwa penting dalam hidup manusia. Kelahiran bayi ditandai menu makanan dari dedaunan hijau dan biji-bijian. Bayi itu tumbuh dan saat menyelesaikan hal-hal penting dalam fase kehidupan, acara selamatan akan digelar dengan menu makanan yang berasal dari pasar. Masyarakat kebanyakan menyebut jajan pasar.
Saat dewasa, seorang individu menyatakan lamaran dengan bahan makanan yang penuh simbol. Tebu, hasil palawija, kelapa, dan makanan pokok ditata di ruang tamu. Manakala saatnya tiba sebuah keluarga kecil sudah mampu membuat rumah, maka topping off ditandai makanan simbolik yang diletakkan di ketinggian. Padi dan ketela untuk kemakmuran, kelapa untuk kekuatan, bubur merah dan putih untuk keseimbangan, dan bendera Merah-Putih sebagai identitas kebangsaan. Akhirnya kematian ditandai dengan nasi tumpeng dibelah dua.

Semiotika ketupat

Konfirmasi atas fakta-fakta itu hendak membuktikan betapa eksistensi makanan ketupat dalam kultur masyarakat Indonesia tidak dapat diabaikan. Bila kita meminjam perangkat metode semiologi Charles Sanders Peirce, proses produksi pemaknaan ketupat dapat dilihat sebagai ikon, lambang, dan simbol. Ikon adalah penunjuk langsung; lambang adalah proses pengangkatan ikon ke dalam norma-norma keseharian; simbol adalah lapis pemaknaan reflektif atas lambang yang terkait struktur kebudayaan.
Sebagai ikon, ketupat dideskripsikan sebagai makanan berbahan beras yang dibungkus daun muda pohon kelapa atau janur. Tidak setiap orang mampu membuat anyaman janur sebagai wadah beras. Ikonografis ketupat lalu dimunculkan sebagai romantisme menyambut Lebaran.

Sebagai lambang, ketupat memberi arti penting dalam proses perayaan. Sebagai bukti, sebagian masyarakat pesisir Jawa membagi perayaan Lebaran menjadi dua, Idul Fitri dan Lebaran Ketupat. Idul Fitri jatuh 1 Syawal, sedangkan Lebaran Ketupat adalah satu minggu setelahnya (7 Syawal). Ketupat tidak ada dalam Idul Fitri karena hanya hadir dalam Lebaran Ketupat.

Sebagai simbol, secara historis ketupat lahir dari sebuah pergulatan kebudayaan pesisiran. Sumber dari Malay Annal (1912) oleh HJ de Graaf menyebutkan, ketupat merupakan simbol perayaan hari raya Islam pada masa pemerintahan Demak yang dipimpin Raden Fatah pada awal abad ke-15.

Bungkus ketupat dipilih dari janur. Mengapa janur? De Graaf menduga-duga secara antropologis bahwa hal itu berfungsi sebagai identitas budaya pesisiran karena pohon kelapa kebanyakan tumbuh di dataran rendah. Selain itu, warna kuning memberi arti khas untuk membedakan dari warna hijau dari Timur Tengah dan merah dari Asia Timur.

Saling kunjung

Kebiasaan berkunjung dan bersalaman bisa dijelaskan melalui etimologi kata ketupat, yakni kupat (Jw) (Sumber: Slamet Mulyono Kamus Basa Jawa, 2008: 199). Para frase kupat adalah ngaku lepat, mengaku bersalah. Kata itu menuntut kita menghilangkan rasa benci, tersinggung, dan introspeksi diri agar bisa saling memaafkan. Ketupat membimbing manusia pada fase pemahaman paling ultim tentang hakikat manusia.
Kini, budaya ketupat tidak bisa tergantikan. Memang ada gambar ketupat di kartu pos, e-mail, SMS, MMS, dan aneka jejaring sosial. Namun, karena makan ketupat itu tidak bisa secara virtual, ketupat mengundang kita untuk hadir, bertatap muka, saling bercerita. Kita disadarkan, betapa kehidupan sehari-hari menjauhkan kita dari keluarga, kerabat, dan sahabat. Kita menjadi makhluk asing yang terlempar dari budaya ketupat.

Ada pula ketupat sayur di Jakarta. Namun, meski kita bisa makan kapan saja, sebetulnya menu itu ingin menghadirkan budaya ketupat dalam kehidupan sehari-hari, bukan setahun sekali. (Kompas, 19 September2009)



No comments:

Post a Comment

Tinggalkan jejak setelah berkunjung yaa ...