Sepi (yang tak lagi) Sunyi
~Tri
Lego Indah F N~
Hariku
sunyi. Ini adalah babak baru dari sejarah hidupku. Entah bagaimana awalnya
akupun tak tahu. Lamat-lamat, keramaian itu tak bisa lagi ku nikmati. Ceracau
burung di pagi hari ataupun lengkingan panggilan ibu, tak lagi bisa aku dengar.
Aku terpekur dalam duniaku yang baru. Dunia
sunyi.
Aku
baru menyadarinya pagi ini. Setelah ibu masuk ke kamarku sambil memandangiku
penuh tanya. Ku lihat bibirnya bergerak-gerak. Bisa ku pastikan ibu sedang
berbicara kepadaku. Tapi tak satupun ucapannya sampai ke telingaku. Aku membesarkan
pandangan mataku. Mulai mencermati setiap kata yang keluar dari gerak bibirnya.
Aku tak sanggup. Dan segera aku memeluk ibu.
“Aku
tak bisa mendengar bu,”kataku lirih saat aku rengkuh dalam pelukan ibu.
Ibu
terbelalak tak percaya. Beliau terlihat kaget dan sangat shock dengan kenyataan yang baru saja diterimanya. Putra
kebanggaannya kini tak lagi bisa mendengar. Dirinya lemas, bulir bening terjun
bebas membasahi raut mukanya yang menua dimakan usia. Tapi segera ia mengusap
air matanya, dan merengkuhku dengan penuh kasih.
***
Aku
masih kelas lima sekolah dasar. Sejak hari itu aku memutuskan untuk berhenti
sekolah. Aku masih shock, bingung dan
belum menyesuaikan diri. Hari-hariku hampa. Aku hanya berkawan dengan sunyi. Aku
masih belum bisa menerima takdirku. Aku tuli di usiaku yang sudah 11 tahun. Rasanya
hidupku menjadi tak berguna. Ingin mati saja aku.
Pernah
suatu hari, pak Busyro, kepala sekolah dasar negeri tempatku belajar
menyarankan kepada bapak untuk menyekolahkan aku ke Sekolah Luar Biasa di Kemiling.
Bapak hanya mengiyakan, tanpa menanggapinya lebih jauh. Uang dari mana, bapak
menyekolahkan aku ke sana. SPP tiap bulan, belum lagi lokasi yang sangat jauh dari
rumahku yang berada di desa pedalaman, menambah lagi beban aku harus di
asramakan.
Hatiku semakin miris. Batinku menjerit. Ingin
aku protes kepada Tuhan. Begitu tegakah Tuhan kepadaku?. Aku hanya bisa
merutuki nasibku yang sangat malang. Oh Tuhan...
***
Ini sudah tahun ke dua, aku tak lagi sekolah.
Hari-hariku, ku gunakan membantu bapak angon
ternak milik tetangga. Gaduh sapi,
begitu istilah yang biasa kami kenal ketika kami merawat ternak milik tetangga.
Setelah sapi itu nanti melahirkan, maka jatah sapi yang lahir itu akan menjadi
milik kami. Begitu terus bergantian. Dari hasil gaduh sapi itu, kini kami sudah punya dua sapi. Satu betina, dan
satu jantan. Bapak menugasiku untuk merawat dua sapi itu. Aku iyakan tugas dari
bapak. Dengan menggembala dua sapi itu, cukuplah mereka bisa menghibur
kesepianku membunuh waktu.
Di kesendirianku, sambil angon sapi, aku
gunakan untuk membaca buku. Buku yang ku beli bersama Mamat sahabatku. Saat
sekolah dulu, aku memang sangat suka membaca. Oleh teman-temanku aku dijuluki
si kutu buku.
Mamat adalah rekan sebayaku. Rumahnya di
seberang desaku. Pertamakali kami bertemu, saat kami sama-sama menggembala sapi
di lapangan luas sebelah barat sekolah dasar negeri tempat Mamat dulu bersekolah.
Oiya, aku belum bercerita dari mana kami
mendapat buku itu. Kami membeli buku recycle
di toko buku yang letaknya di sebelah timur pasar tradisional, sekitar 7 km
jaraknya dari rumah kami. Kami ke sana
menggunakan sepeda jengki milik bapak, yang biasa digunakan untuk
mencari rumput.
Mamat sahabat yang sangat pengertian
denganku. Dia selalu menganggap aku layaknya anak normal seperti dirinya. Bukan
sebagai seorang anak yang cacat, dengan ketulian yang kini aku derita. Mamat selalu
menghadapkan mukanya kepadaku setiap kali hendak mengajakku bicara. Dia juga
memperlambat gerakan bibirnya agar aku bisa mencerna apa yang ia ingin
sampaikan kepadaku.
Koleksi
bukuku semakin banyak. Buku-buku itu aku beli dari hasil merumputkan ternak
milik tetangga. Tetanggaku yang seorang pegawai negeri tak ada waktu mencari
rumput sendiri. Sehingga beliau menawariku untuk mencarikan rumput ternak
miliknya. Lumayan, dalam seminggu aku diberi upah lima puluh ribu. Awalnya,
uang hasil merumput aku berikan pada ibu. Tapi ibu menolaknya, dan memintaku
untuk menyimpannya sendiri. Untuk ditabung. Aku menuruti saran ibu. Uang hasil
merumput aku simpan di celengan bambu yang bapak buatkan untukku. Celengannya sangat
mirip dengan kentongan yang biasa dipakai kentongan saat bapak-bapak ronda
malam.
Setiap dua minggu sekali aku rutin
membeli buku. Mbak Lego, yang menjaga toko buku itu selalu menyambut
kedatanganku. Aku menjadi pelanggan setia toko buku Litera itu. Pernah suatu kali mbak Lego menghadiahi aku 5 buku
kumpulan puisi Hasan Aspahani. Bahkan mbak Lego juga mengizinkan aku membaca
buku di sana, tanpa aku harus membelinya.
Dan aku yang saat sekolah dulu menyukai
mengarang, kini kembali belajar menggunakan pena kembali. Aku mulai menulis. Pertama
kali aku menulis tentang kegiatan harianku. Semacam curhat mungkin lebih
tepatnya. Lama-lama, aku mulai mencoba menulis puisi, dan cerpen karanganku
sendiri. Aktivitas ini ku lakukan ketika selesai merumput ataupun menggembala
sapi. Kadang, di rumah, sehabis shalat isya, aku juga masih melanjutkan
tulisanku, dan kemudian membacanya. Seringkali aku tertidur saat sedang membaca
tulisanku. Buku masih dalam posisi tertelungkup di wajahku
Mamat, adalah satu-satunya sahabat yang
tahu aktivitas baruku. Mamat selalu membaca tulisan yang ku buat. Berulangkali Ia
memuji tulisanku. Dan terus menyemangatiku untuk menulis. Aku mengiyakan saran
Mamat. Aku menjadi semakin rajin menulis. Hingga suatu saat, Mamat
menginformasikan kepadaku, bahwa di sekolahnya sedang ada lomba menulis. Untuk menyambut
hari pahlawan, 10 November nanti. Lomba
tersebut diperuntukkan bagi siapapun yang berusia 11-14 tahun. Dan event ini,
adalah perlombaan setingkat kabupaten. Dan
aku tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Secara, usiaku masih 13 tahun. Jadi, aku
semangat untuk mengikutinya.
Seluruh peserta lomba diwajibkan untuk
datang pada hari pengumuman. Sekaligus menyaksikan pertunjukkan drama yang
dimainkan oleh siswa-siswi SMP N 2 Way Seputih. Ku lihat di sana, Mamat ikut
berperan sebagai salah satu pahlawan. Tepatnya, Mamat mendapat peran sebagai
jenderal Sudirman. Aku ikut menikmati rangkaian acara yang dihelat sekolah itu,
acara sangat meriah dan ramai. Hingga sampailah di acara yang ditunggu oleh para peserta
lomba. Aku ikut dua jenis lomba. Cerpen dan puisi. Tak banyak berharap, bisa
ikut serta saja aku sudah sangat senang.
Seusai tampil, Mamat segera
mendatangiku. Kami berbincang cukup hangat. Sampai kemudian panitia lomba
mengumumkan juara cipta puisi dan cerpen. Mamat terus menyemangatiku, dan
optimis bahwa aku bakal menjadi salah satu juaranya. Mulutku komat kamit
merapal do’a. Mataku sengaja ku pejamkan. Antara takut dan nervous. Maklum, baru pertama kali aku ikut lomba.
Mamat menepuk pundakku, dan memberikan
selamat kepadaku. Oh Tuhan? Benarkah aku tidak bermimpi? Mamat mencubit pipiku
yang gembil, dan memberitahuku bahwa aku menjadi juara satu puisi dan juara dua
cerpen. Oh Tuhan, aku masih tak percaya. Mamat segera memintaku bergegas ke podium
untuk menerima thropy dan hadiah
lainnya. Ku peluk Mamat seusai aku turun dari podium. Terimakasihku tiada
terkira aku sampaikan kepada Mamat, sahabat terbaikku.
Hari-hariku semakin penuh keoptimisan. Aku
sangat beruntung memiliki orang tua dan sahabat yang selalu memotivasiku. Ternyata,
kabar aku menang lomba tersebut, terdengar pula di sekolah dasar negeri tempat
aku menuntut ilmu dahulu. Dan pak Busyro memintaku untuk kembali bersekolah di
sana. Meski usiaku sudah tiga belas tahun, pak Busyro masih memberikan kesempatan
padaku bersekolah di bangku kelas 6. Aku bersama dengan adik-adik kelasku yang
baru berusia 11-12 tahun. Aku berusaha tidak minder dan berusaha menyesuaikan
diri dengan mereka.
Ujian nasional sudah di ambang pintu. Aku
kembali rutin belajar sendiri. Keterbatasan pendengaranku bukan halangan aku
untuk malas belajar. Justru aku sangat bekerja keras. Melahap semua buku
pelajaran yang ada di perpus. Menggunakan waktu istirahat untuk belajar di perpus, dan berlatih mengerjakan
soal di sana.
Hari ini pengumuman ujian nasional. Kami
berangkat ke sekolah didampingi orang tua masing-masing. Bismillah, aku yakin
aku bisa lulus dengan kerja keras yang sudah aku lakukan, juga restu dari orang
tua dari do’a dari sahabat-sahabatku.
Alhamdulillah, aku berhasil menjadi yang
terbaik, dalam Ujian Nasional se kabupaten Lampung Tengah. Aku berhasil
mengalahkan teman-temanku yang normal dan rajin mengikuti bimbel. Bukan bermaksud
menyombongkan diri. Ini adalah jawaban Tuhan, bahwa ternyata, aku yang cacat
ini bisa sejajar dengan mereka. Anak-anak normal yang seringkali mencibirku.
Langkahku untuk sekolah semakin mulus. Berkat
prestasiku menjadi yang terbaik saat Ujian Nasional lalu, Aku mendapat beasiswa
gratis dari pemerintah daerah. Aku gratis bersekolah di sekolah formal hingga
aku tamat SMA. Dengan syarat prestasiku tak boleh jeblok.
Kini aku sudah menjadi siswa SMA Negeri
sekolah kenamaan di kotaku. Bapak mengizinkan aku sekolah di sini karena bapak
tahu aku anak yang mandiri. Hanya berbekal restu dan do’a dari orang tua, aku
berangkat menyambut beasiswa untuk bersekolah di sana. SMA N 9 Bandar Lampung.
Siapa yang sangsi dengan kekerenan sekolah ini. Sekolah yang menghasilkan
lulusan terbaik yang selalu berhasil membawa siswa-siswinya untuk masuk
perguruan tinggi kenamaan di negeri ini. UI, ITB, UGM, USU, IPB adalah
perguruan tinggi benefit yang banyak
menampung lulusan dari sekolah yang kini aku berkesempatan menjadi salah satu
siswanya.
Bersekolah di sini, mengenalkanku pada
dunia internet. Teknologi semakin canggih. Berbagai informasi yang ingin ku
peroleh bisa aku dapatkan hanya dengan mengetikkan keyword di kolom search
yang ada di google. Dari sanalah aku
mulai tahu bahwa banyak informasi perlombaan menulis yang di publish di internet.
Suatu ketika, rekanku Eyra, meminjamkan
aku majalah remaja. Story Teenlit Magazine
nama majalahnya. Sebuah majalah
kenamaan yang berlokasi di Kedoya- Jakarta Barat. Sambil menikmati isinya, Eyra
menunjukkiku kolom cerpen duet. Ide gila kami mulai keluar. Ya, aku dengan
Eyra, sepakat untuk mencoba berkolaborasi dalam cerpen duet itu.
Tiga bulan pasca kami mengirim cerpen
duet tersebut, Eyra memberiku kabar, bahwa pihak Story menelponnya, memberitakukan bahwa cerpen kami akan dimuat di
edisi 26. Ahay, rasanya tak sabar segera melihat cerpen duet kami tercetak di
majalah itu.
Benar saja, Filantropy di Pucuk Meranti,
judul cerpen duet kami, ikut meramaikan
isi majalah itu di edisi 26. Aku segera berkirim kabar ke rumah, dengan
mengirimi SMS kepada pak Busyro, agar menyampaikan ke bapak, kalau tulisanku
masuk majalah nasional. Aku ingin membuat bapak bangga memiliki anak sepertiku.
Aku semakin rutin menulis. Dengan dibantu
Eyra, rekan satu kelas yang memiliki hobi sama sepertiku, aku mulai memberanikan
diri merambah media. Horison, Aneka Yes!, Story, Diva, dan Leutika adalah incaran karya-karyaku
selanjutnya. Alhamdulillah, beberapa karyaku bertengger di sana. Kini, namaku
semakin di kenal di media. Beberapa kali profileku
dimuat di koran lokal daerahku. Ternyata, inilah rahasia Tuhan, yang baru aku
selami maknanya, bahwa sepi-ku kini tak lagi sunyi. Aku bisa meramaikan dunia
kepenulisan dengan berkarya di tengah ‘keistimewaan’ yang Tuhan berikan padaku. Penyandang disabilitas yang kini punya jejak di
bidang kepenulisan.
Bandar
Lampung, 26 November 2011
19:48wib
Terinspirasi
dari perjalanan kehidupan adikku yang ‘istimewa’
yang kini menjadi mahasiswa fakultas sastra UGM.