Aku (Bukan)
Anak Nakal
“Blug...”
“Hahahahaha”
Kami
semua tertawa keras melihat Bapak guru masuk dalam kursi yang jeblos. Bukan
nada bersalah atau membantu, kami justru tertawa kesenangan.
“Diam!”
Raut
muka Pak Wi guru matematika kami seraya merah padam. Ekspresi kemarahan
bercampur rasa malu tergambar jelas di raut muka beliau. Seketika kami terdiam.
Suasana kelas VII A menjadi hening.
Pak
Wi terus melampiaskan kekesalannya dengan tutur penuh emosi. Hingga akhirnya punishment dijatuhkan kepada kami, satu
kelas.
“Kami tidak akan mengulangi lagi, kami
mengaku bersalah...”
Kalimat
yang harus selalu kami lafalkan keras-keras mulai dari ujung lapangan sepakbola
hingga lapangan upacara sampai ke kantor dewan guru. Dengan berbaris berjalan
dalam formasi satu banjar di tengah lapangan sambil mendongakkan wajah ke atas.
Tak boleh memakai topi atau apapun agar kami tak kepanasan. Begitu malu dan
tersiksa sebenarnya karena aksi kami ditonton oleh seluruh warga sekolah.
Siang hari di ruang kelas VII A
“Hei..,
siapa sih sebenernya yang buat ulah? Jadi kita sekelas kan yang kena getahnya!
Ini sudah yang ketiga kalinya keusilan ini berulang. Setelah kemaren rok bu
Tere tersangkut paku, Pak Rozi tertempel permen karet dan sekarang? Pak Wi yang
jadi korban selanjutnya.. Belum puaskah kalian membuat malu kelas kita?”
Seisi
kelas tetap tak bergeming mendengar pertanyaan Arya ketua kelas kami.
“Ttt
tt tunggu..... “ suaraku sedikit tersendat.
“Itu
semua ulahku...., maafkan aku teman-teman,” aku hanya berani berucap lirih
tanpa berani memandang seisi kelas.
“Apa
Ndah? Jadi.....“ Mely Rosman sahabat karibku benar-benar keheranan.
“Iya,
maafkan aku teman-teman, ini semua salahku. Maaf jika kemarin kalian ikut
menjadi korban keusilanku”
***
Seminggu
kemudian, semenjak pengakuan terucap dariku, aku mulai banyak kehilangan teman
akrab. Lagu sunyi seolah sedang berkawan akrab menemani hari-hariku. Tatapan–tatapan
sinis begitu kenyang aku jumpai saat aku melintas ke beberapa lokal kelas.
Bahkan saat aku pergi ke kantin. Pelarianku kini hanya satu, Perpustakaan.
“Indah,
kamu dipanggil di ruangan Pak Harlan tuh.”
Arya menemuiku di perpus
sembari memberikan sepucuk surat pemanggilan dari kepala sekolah untukku.
Dengan
berjalan gontai diliputi rasa takut, ku beranikan diri memenuhi panggilan
kepala sekolah. Debaran jantungku melaju dengan sangat kencang bak pelari sprint yang sedang berlaga di arena
pertandingan. Pandanganku hanya tertunduk ke bawah, tangan dan kakiku bagai
menggenggam sebongkah es. Aku benar-benar ketakutan.
“Tri
Lego Indah, Saya sudah mendapat laporan dari Bu Tere, Pak Rozi dan Pak Wi
terhadap insiden yang terjadi di kelas VII A. Dan dari pengakuan teman-teman
Anda, Anda sudah mengakui bahwa insiden tersebut adalah kesalahan Anda.
Bersungguh-sungguhkah Anda menyesali perbuatan tersebut?”
Dengan
tegas Bapak Kepala Sekolah memberikan pertanyaan dan pernyataan kepadaku.
Kurasakan Pak Harlan memandangku lekat-lekat. Aku tak berani sedikitpun menegakkan
wajahku yang sudah diliputi rasa bersalah luar biasa.
“Sa...
Saya, benar-benar merasa bersalah Pak, saya siap mempertanggung jawabkan
kesalahan saya.”
“Baik,
Saya menyukai kejujuran Saudara, dan saya tahu Anda bukan siswa yang bodoh.
Anda salah satu andalan sekolah ini walaupun anda masih kelas VII. Tapi sekolah
ini tidak cukup membutuhkan siswa pandai, tetapi juga butuh siswa pandai dan
santun”
Statement
akhir Pak Harlan membuatku begitu terhenyak. “Sekolah ini tidak cukup membutuhkan siswa pandai, tetapi juga butuh
siswa pandai dan santun” terngiang terus di telingaku.
“Selama
tiga hari ke depan, silahkan untuk belajar di rumah.”
Deg...!
Kembali aliran darahku terpompa begitu deras. Aku harus siap dengan vonis scorsing yang memang layak aku terima.
***
“Nduk, kok ora budal
sekolah? Opo sampeyan sakit1?” ibuku bertanya
sembari mendekat ke arahku.
“Iyo Mak, Indah lagi ra
kepenak awakke, pengen leren nang omah2”
aku menyahut sambil menarik selimut tebalku.
“Yowes istirahat nduk, wes gawe surat izin
urung? opo mamak pamitke nang
sekolahan?3”
“Nggak usah mak, buk
guru sampun ngerti, genduk nggak enak badan seko wingi nang sekolahan, makane
kon balek cepet 4”.
“Yowes nduk, turon wae ojo nang endi-endi,
engko mamak golekne obat nang puskes5”
Untunglah
ibuku cukup percaya dengan alasanku. Dan memang benar aku benar-benar sakit.
Kepala ku terasa berat dan badanku terasa lemah. Mungkin efek karena aku
terlalu kepikiran dengan tingkahku
selama ini.
Tubuhku
benar-benar drop. Aku divonis terkena
hepatitis B. Aku benar-benar harus istirahat total di rumah selama satu bulan.
Benar-benar keadaan yang menyiksaku. Selama satu bulan untuk mengurangi
kebosanan, ku habiskan hari-hariku dengan membaca buku dan membuat rancangan
karya tulis, naskah pidato dan naskah debat. Semua ku lakukan tanpa
sepengetahuan ibu. Kalau ibu sampai tahu pasti aku akan dimarahinya
habis-habisan.
Agustus 2003
Ku
lihat poster berukuran sedang berwarna hijau muda tertempel di mading depan
perpustakaan. Segera ku berlari ke sana, sambil membawa block note yang selalu ku bawa di saku rok warna biru tua yang ku
kenakan. Ku baca dan ku catat dengan cermat informasi yang tertera di sana.
***
“Selamat
saya ucapkan kepada salah seorang murid kelas VII A, yang nama ini mungkin
tidak asing terdengar di telingan warga SMP N 2 Way Seputih..”
“Selamat,
kepada Adinda Tri Lego Indah atas prestasinya melaju hingga sepuluh besar Speech English Contest dalam kontest
pidato bahasa Inggris MKKS Lampung Tengah di SMP N 5 Terbanggi Besar hari
Jum’at lalu. Semoga kalian semua bisa belajar dari kegigihan teman kalian yang
belum lama sembuh dari sakit mampu meraih prestasi“
Tepuk
tangan riuh rendah membahana di seisi lapangan upacara hari senin itu. Tak terasa
air mataku meleleh. Teman–teman yang dahulu mengucilkanku kini kembali
merangkulku dan mengucapkan selamat bertubi-tubi kepadaku.
Aku benar-benar tidak menyangka pak Harlan
memberi apresiasi kepadaku demikian luar biasa.
Kendati perlombaan kemarin aku hanya menjadi sepuluh besar dari seratus
lima puluh peserta. Kini, dalam hati aku bertekad untuk bisa kembali mengukir
prestasi dalam lomba KIR dua pekan kedepan. Satu harapku, aku mampu
mengharumkan nama sekolahku bukan dengan kelakuan burukku tapi dengan prestasi
dan kelakuanku yang santun.
Way
Seputih, 27 Februari 2007
at
01.07 am
Mengingat
masa-masa SMP
Thats My Based True
Story ^_^
Footnote:
1Nak,
kok tidak berangkat sekolah? Apa kamu sakit?
2Iya
bu, Indah sedang tidak enak badan, ingin istirahat di rumah.
3Ya
sudah, istirahat Nak, sudah buat surat izin belum? Atau ibu pergi ke sekolahmu
untuk meminta izin bahwa kamu sakit
4Tidak
perlu Bu, Bu guru sudah tahu kalau Indah sudak tidak enak badan dari kemarin.
Makanya Indah pulang cepet.
5Ya
sudah Nak, istirahat, jangan kemana-mana, nanti ibu belikan obat di puskesmas
No comments:
Post a Comment
Tinggalkan jejak setelah berkunjung yaa ...