Kisah Tarian Pena ku
~Tri Lego Indah F N~
Banyak definisi yang menerangkan mengenai menulis. Dan siapapun sah-sah saja untuk mendefinisikannya. Bagi saya, menulis bisa menjadi ladang ekspresi, curahan hati, beramal dan penyampai misi kebaikan- (baca: dakwah). Dengan menulis pula maka kita telah bekerja untuk keabadian.
**
Menulis kegiatan yang lekat dengan diri saya. Semenjak sekolah dasar pun aktivitas ini kian akrab dengan diri saya. Terlebih ketika dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Ketika guru memberikan tugas untuk mengarang tentu saya sangat bersuka cita. Hobi membaca semua jenis buku dan kegemaran menonton berita di televisi terkadang membuat karangan yang saya tulis sangat berbeda dengan hasil karangan teman lain. Hingga membuat guru saya menjadi terheran-heran dengan gaya tulisan hasil karangan saya yang tak seperti gaya tulisan anak sekolah dasar.
Apa yang saya baca dan apa yang saya lihat, itulah sebenarnya yang menjadi inspirasi saya ketika membuat suatu tulisan. Hingga kini, dimanapun tempatnya maka ketika inspirasi itu datang saya akan segera mengikatnya dalam sebentuk tulisan. Saya tidak ingin menyia-nyiakan ide yang telah datang menghampiri saya. Ketika sedang berada di bis, ataupun sedang berjalan kaki, ketika ada sesuatu yang menarik hati saya untuk membuat tulisan, maka dengan cepat saya akan segera mengetikkan tuts tuts handphone saya, apa saja hal yang ingin saya tuliskan.
Pun saya akan menyatakan persetujuan ketika Muh. Faudzil Adhim mengatakan bahwa” Tak ada resep yang lebih baik untuk menjadi seorang penulis kecuali dengan menulis sekarang juga. Apapun jadinya buatlah tulisan secara spontan. Kalau memang harus melompat-lompat, biarlah melompat-lompat. Boleh jadi akan menjadi lompatan yang indah. Tulislah sekarang juga!. Apapun yang terlintas dalam fikiran. Jangan menoleh ke belakang sebelum selesai satu tulisan. Jangan sibuk memperbaiki kalau tulisan belum selesai. Revisi itu setelah tulisan jadi”.
Maka, saya pun akan membebaskan diri saya untuk menuliskan apa saja yang terlintas di pikiran saya. Saya akan membebaskan tulisan saya dari ketentuan baku tulisan seperti menggunakan EYD dan lain sebagainya. Setelah tulisan selesai, maka saya akan mengendapkannya dan kemudian barulah mengoreksinya.
Menulis juga menjadi kawan setia saya. Kertas dan pena pun mengakrabi diri saya. Kertas yang putih begitu rela saya penuhi dengan tinta hitam pena untuk sekadar saya berbagi rasa dalam sebentuk curhat yang saya tuliskan. Rasanya begitu lega ketika uneg-uneg yang menggumul di dada bisa ditumpahkan dalam sebentuk tulisan walaupun sekadar tulisan curhat.
Namun, perlahan namun pasti, kini aktivitas menulis tak cuma menjadi ajang curahan hati yang terkadang bias tanpa makna. Hanya bentuk kekesalan yang begitu “tega” saya tumpahkan pada selembar kertas. Namun kini, dengan kesadaran dan pemahaman yang perlahan saya peroleh dari membaca, kini saya sedang berusaha menjadikan tulisan memiliki banyak makna dan hikmah yang bisa diperoleh bagi para pembaca tulisan saya.
Tak sekadar menulis.
Hal yang kemudian baru saya pahami sekarang ini. Sekadar menulis saja maka akan terasa hambar tanpa diberikan bumbu pelengkap. Tulisan yang apa adanya tanpa “ruh” maka akan membuat pembaca kehilangan makna. Menyadari hal tersebut, maka saya senantiasa untuk menambah referensi bacaan-bacaan saya agar tulisan yang akan saya buat mempunyai rasa dan meninggalkan pesan bagi para pembacanya.
Menulis menjadi ladang dakwahku.
Dakwah-menebar kebaikan, tak hanya bisa dilakukan dengan lisan. Dengan menulispun saya mencoba untuk menebarnya. Dakwah bil Qolam-dakwah melalui tulisan, juga bisa menjadi media yang massive untuk mengajak ke arah kebaikan. Tentu saja, dalam tulisan yang saya hasilkan, harus mampu menyelipkan pesan kebaikan baik secara tersirat maupun tersurat dalam karya yang telah saya tuliskan.
Dengan menulis maka saya ada.
Menulislah maka kamu ada- jargon yang mengakrabi telinga saya ketika saya tergabung dalam organisasi eksternal kampus tahun 2008 lalu. Berkaca dengan jargon tersebut sangat benar adanya. Betapa para ilmuan hebat seperti Al Kindi, Ibnu Sina, Einstein dan yang lainnya, jika mereka tak menuliskan buah karya nya dalam tulisan maka, mungkin hari ini kita tak akan mengenal mereka juga hasil karyanya serta menikmati buah pikirnya. Maka, dengan menulis tanpa kita sadari kita telah menuliskan sejarah bahwa kita memang ada. Suara kita tak akan hilang ditelan bumi ketika kita mengambil pilihan untuk menulis.
Para inspirator menulisku.
Buruh Migran Indonesia, (baca; BMI) yang dahulu disebut TKW atau nakerwan-tenaga kerja wanita, menjadi inspirator terbesarku kini untuk menarikan pena. Berawal dari mulai saya mengenal dunia facebook November 2010 lalu, saya begitu takjub mengenal sederet nama BMI yang begitu konsisten dalam menulis. BMI- yang acapkali dilabeli berpendidikan rendahan, nyatanya justru mempunyai prestasi membanggakan dibandingkan kita yang katanya berpendidikan dengan intelektualitas tinggi. Melecut saya untuk belajar dari mereka untuk terus menebar kebaikan melalui tarian pena.
Maka, kini aku akan terus mengurai kisah bersama tarian pena ku yang tak akan berhenti untuk terus menari. Beberapa karya sederhanaku yang telah hadir dalam sebentuk buku, semoga bisa menjadi saranaku untuk tabungan amal jariyah jika kelak aku telah tiada. Semakin banyak yang membaca karyaku, maka aku berharap semakin banyak investasi amal jariyahku kelak.
Dan inilah kisah tarian penaku, yang tak akan pernah berhenti menari. Memahat setiap episode kehidupan yang tak pernah lepas dari makna tersirat yang diberikan Tuhan, jika kita mampu menyadarinya.
Mari menari bersama pena, dan memberi inspirasi bagi pembaca.
Bandar Lampung, 17 April 2011
Pukul 21:28
No comments:
Post a Comment
Tinggalkan jejak setelah berkunjung yaa ...