Tuhan, Aku Ingin Papa Datang
~Tri Lego Indah F N~
Well, hari ini seharusnya aku bahagia. Hari ini aku dinobatkan sebagai runner up satu pemenang KTI Se-Indonesia. Aku menuai banyak pujian dan ucapan selamat dari berbagai pihak. Civitas akademika tempatku menuntut ilmu, sahabatku di pers mahasiswa dan UKM tempatku bernaung, semua mengucapkan selamat kepadaku. Baik secara langsung, via telepon, sms, maupun ucapan selamat melalui wall facebookku. Wajar saja, aku adalah satu-satunya perwakilan dari propinsiku yang ikut menjadi finalis setelah mengalahkan 150 pesaingku dari berbagai perguruan tinggi se-Indonesia. Kata mereka, sungguh prestasi yang membanggakan. Manusiawi memang kalau akupun turut bangga, padahal aku tak pernah menyangka bisa menjadi dua besar. Menjadi finalis di 10 besar saja rasanya seperti bermimpi. Namun, penobatan hari ini rasanya hampa bagiku. Ada sebersit iri ketika juara yang lain ditemani oleh orang tua masing-masing saat penobatan. Sedangkan aku di sini, hanya sendiri. Huuft, aku berusaha menepis rasa ini. Kembali entah untuk ke sekian kalinya aku harus mengikhlaskan ketidakpedulian orang tua tunggalku satu-satunya, yaitu Papa.
Ceremonial hari ini membuatku sangat kelelahan. Rebah juga badan ringkihku di sofa ruang tamu. Hingga tanpa ku sadari aku telah berlayar di ruang mimpi.
“Runner-up dua Lomba Karya Tulis Ilmiah Se Indonesia, diraih oleh peserta dari Universitas Lampung, kepada ananda Nandho Ferdinan untuk bisa maju ke atas podium untuk penyerahan hadiah oleh dirjen dikti.” Suara MC begitu lantang memanggil namaku. “Oh Tuhan, tidak mimpikah aku?”aku bertanya-tanya pada diriku sendiri. Setelah Candra rekanku dari ITB menepuk pundakku, aku baru tersadar bahwa aku tidak sedang bermimpi. “Ayo cepat, maju ke podium, apa mau aku saja yang maju?”, ujar Candra mencandaiku. Gegas, aku berusaha menghilangkan rasa gemetar dan nervousku untuk segera maju ke podium. Sesaat, saat mc sedang membacakan dua runner up yang lain (juara 3 dan 4), mataku menelisik satu persatu tamu undangan yang hadir. Orang tua para finalis yang mendapat undangan semuanya nampak hadir. Namun, tak nampak wajah Papa di jajaran para tamu undangan. Aku hanya bisa menarik napas, menghembuskan perlahan. Aku menuruni podium dengan membawa thropy, piagam penghargaan, souvenir dari sponsor dan bookey seorang diri. Namun saat baru dua langkah aku menuruni podium, terdengar suara seseorang memanggil namaku. Dinan!, aku segera mencari sumber suara, Oh My God, di sana ada Papa, aku segera menghambur menghampirinya.
Back when I was a child
Before life removed all the innocence
My father would lift me high
And dance with my mother and me and then
Ringtone Dance with My Father by Luther Vandross di hape Black Berry Javelineku membuatku tergeragap. Huft, ternyata aku hanya mimpi. Papa benar-benar tak ada di sana. Ternyata hanya ilusiku semata. Oh Tuhaannn...
**
Semenjak Mama sudah tak ada, Papa semakin menyibukkan dirinya di kantor. Kami jarang sekali berkumpul bersama di rumah. Papa berangkat ke kantor sejak pukul 07.00 pagi, dan biasa pulang setelah magrib. Bahkan jika ada lembur, Papa bisa pulang hingga pukul 11 malam. Akupun segan mengajak Papa bercerita. Aku tak tega melihat Papa yang kelelahan bekerja. Padahal sebagai anak laki-laki satu-satunya, aku juga butuh tempat untuk bermanja. Sekali lagi, walaupun aku seorang laki-laki tetap saja aku ingin membagi cerita dengan orang terdekatku. Aku ingin sekali Papa bisa mendengar curhatku. Bisa aku ajak diskusi, dan kuajak main game bersama. Ya, aku bosan dengan kebekuan di rumah ini. Rumah yang cukup besar, yang hanya dihuni oleh kami berdua. Aku dan Papa. Namun seperti tak ada kehidupan di rumah ini. Meskipun laki-laki, tapi aku tak menuruni sifat keras seperti Papa. Aku cenderung melankolis, mungkin sifat ini menurun dari Mama. Kata nenekpun sifatku hampir 75 persen mirip Mama. Jadilah aku laki-laki yang cukup peka dan perasa ketika ada hal-hal yang mengganjal dipikiranku.
Untuk menutupi rasaku, aku menyibukkan diri di organisasi pers mahasiswa di kampusku. Juga aku terlibat dalam beberapa UKM-Unit Kegiatan Mahasiswa, seperti UKM Penelitian dan UKM Zoom. Aku yang menyukai dunia jurnalistik, fotografi dan penelitian, menjadikan 3 UKM ini menjadi separuh nafasku. Aku merasa sangat totalitas berada di sana. Berusaha berkontribusi maksimal di 3 UKM itu. Ya, di sanalah, aku menemukan duniaku sendiri. Sebagai penghibur nelangsa, akibat kebekuan rasa yang tercipta di keluargaku. Antara aku dan Papa.
Namun, ketika sampai di rumah, ketika pekerjaan dari UKM ku telah rampung, tugas kuliah sudah selesai, aku kembali dirundung nelangsa. Papa mengirimkan pesan di BBM ku bahwa seminggu ini Papa akan terbang ke Hongkong. Ada presentasi bisnis dengan klien Papa di sana. “Oh Papa, kapankah ada waktu untuk kita bersama?”pertanyaan yang akupun tak tahu jawabnya. L berharap segera ada keajaiban untuk bisa bercengkrama dan bermanja dengan Papa.
Seminggu ini aku kembali mempersiapkan project ke dua untuk finishing sebuah film dokumenter. Film yang aku dan timku kerjakan untuk diikutsertakan dalam ajang nominasi bergengsi tingkat nasional. Ya, aku harus memompa semangatku dan juga timku untuk kami bisa lolos-setidaknya sampai pada tahap presentasi di Jakarta.
Sebulan sudah aku dan timku harap-harap cemas menanti kabar penjurian proposal, aplikasi dan film documenter yang kami kirim ke alamat panitia. Tujuh Belas Oktober 2011, menjadi hari yang paling kami tunggu. Hari ini adalah hari pengumuman 25 besar nominator yang akan mempresentasikan usulan proposalnya dan konsep film dokumenter ke hadapan 3 juri utama di Jakarta. Aku sangat berharap dan optimis aku bisa lolos. Bismillah, semoga harapanku terwujud.
Baru saja aku usai menunaikan shalat dzhuhur, teleponku berdering, sebuah nomor muncul di layar ponselku. 021? Kode jakarta sepertinya. Segera ku jawab telepon dan subhanalloh, aku langsung sujud syukur di situ juga. Usulan proposal dan kiriman film documenter dariku dan tim dinyatakan layak menjadi nominasi. 20 Desember 2011 aku dan timku diberikan tiket untuk berangkat ke Jakarta. Presentasi proposal berikut konsep film documenternya.
Aku tak boleh nervous, presentasi kali ini harus sukses, seperti saat aku presentasi untuk LKTI beberapa waktu yang lalu. Semua sudah aku persiapkan dengan baik. Acara presentasi ini disiarkan oleh salah satu stasiun televisi swasta secara Live. Jadi, seluruh Indonesia akan menyimak secara detail 4 jam jalannya presentasi dari 25 nominator. Aku terpilih di sesi pertama sebagai penyaji ke 3. Di sana sudah duduk dengan manis 3 juri yang masing-masing pakar di bidangnya. Alhamdulillah presentasiku berjalan lancar, pertanyaan juripun sudah bisa ku prediksi sebelumnya. Aku sudah mempersiapka jawaban terbaikku untuk pertanyaan dari dewan juri.
Seluruh nominator telah tampil. Kami diberikan break waktu 30 menit untuk juri berembug menentukan 3 pemenang terbaik. Acara diselingi dengan performance lagu dari Afgan Syahreza dan dilanjutkan oleh Vidi Aldiano.
Di sela break, aku menyempatkan mengecek BBMku. Mataku terbelalak, Ada BBM dari Papa. “Dinan, kamu hebat sekali nak, Papa tadi menyaksikanmu presentasi di televisi. Papa bangga padamu Nak, Semoga kamu melaju di 3 besar. Do’a Papa untukmu”. Oh My God, aku tak percaya, Papa yang begitu tak peduli padaku, kali ini bisa berubah 180 derajat, berbalik memedulikanku dan memujiku.
Tak kuasa air mataku luruh. Sisi melankolisku kembali muncul. Tiba-tiba aku sangat merindukan Papa. Ingin rasanya acara ini segera selesai dan aku segera pulang ke Lampung. Menemui Papa.
Moderator acara kembali memegang kendali acara. Kini tiba pengumuman 3 pemenang terbaik, hasil diskusi dari 3 juri sudah ada ditangan Virgie Baker-Moderator acara.
Dengan hati-hati Virgie membuka amplop dari dewan juri. Sesaat, Virgie melempar senyum kepada ke 25 nominator. Hingga akhirnya, dibacakanlah 3 nama pemenang dan asal universitasnya. Hatiku dag dig dug, dan berulang kali ikut mengaminkan do’a Papa. Setidaknya harapanku adalah juara 2. Dan, deg, jantungku terpompa 3 kali lebih cepat, pengumuman pertama dimulai dari juara ke dua. Oh Tuhan, semoga Kau mengabulkan harapanku dan harapan Papa. Ohhh, ternyata bukan aku. Peserta dari UGM yang menyabet gelar itu. Juara satu dan juara tiga belum diumumkan. Tapi aku sudah mulai tidak yakin. Tapi aku tetap optimis membawa pulang salah satu gelar, untuk ku tunjukkan kepada Papa. “Juara tiga diraih oleh tim dari IPB, dan juara pertama di raih oleh......”, suara Virgie sengaja ditahan, membuat kami semua sesaat menahan nafas. “Uni...Versitas... Lam..Pung”, dengan mengagetkan, Virgie menuntaskan pengumumannya. “Allahu Akbar!” aku dan ketiga rekanku satu tim, langsung sujud syukur. Kami tak menyangka dengan prestasi luar biasa ini. Mengalahkan pesaing berat kami dari UI, UGM, ITB dan IPB. “Terimakasih Tuhan, Terima kasih Papa, berkat do’a Papa, aku bisa menang”
Acara penyerahan hadiah berlangsung begitu khidmat, diiringi oleh lagi We Are The Champion yang dibawakan oleh Marcel, semakin membuat suasana begitu syahdu. Acara selesai dan kami semua diperkenankan untuk beristirahat di apartemen yang disediakan panitia.
Hendphone di saku celana jeansku bergetar. Seperti ada sebuah panggilan, oh Papa menelponku, ada apakah gerangan? Biasanya Papa hanya menghubungi via BBMku ataupun sms, segera aku angkat telpon Papa. “Hallo, Assalamu’alaikum Pa, ada apa?tumben sekali Papa telpon, ada hal sangat mendesakkah sehingga Papa menelpon Dinan?”tanyaku memberondong kepada Papa.
“Papa ingin mengucapkan selamat kepadamu Dinan, selamat ya, akhirnya kami jadi juara pertama kompetisi itu. Kamu sangat hebat nak, sekarang posisimu di mana? Papa ingin mengucapkan secara langsung kepadamu, dan Papa membawa hadiah special untukmu, sekarang Papa sedang OTW menuju metrotv, Papa sedang ada di Thamrin”. Jawab Papa panjang lebar.
“ What’s kapan Papa berangkat kemari Pa? Kok sudah mau sampai? Thats Your surpirse my Dady...I Waiting you..., be carefully Dad” lanjutku keheranan sembari menjawab pertanyaan Papa.
“Thats Oke My Son. Waiting Me, see youuu” , jawab Papa dari seberang telepon.
Srrrrrrrrrreeeeeeeeet, jlegeeer, Dummm
“Allaaaaaaaaaaaaahhhuu Akbaarrr!”,
“Diiiinaaaann, tunggu Papaa”
Ku dengar dentuman keras di seberang telpon, perasaanku mulai tak enak, “Papaaaa, Pa, Papaaa, are you oke???”, tak ada sahutan lagi diseberang telepon. Dan telepon dari Papa terputus. Oh Tuhan, ada apa ini..., Aku telpon balik ke nomor Papa, jaringan tidak aktif. Sial, aku tak bisa menghubungi Papa. Segera aku melapor ke panitia perihal ini, dan aku segera diantar oleh panitia menuju ke Thamrin. Sampai di sana, aku tertegun melihat mobil mercedez Benz yang sudah berubah bentuk, mengepulkan asap kobaran api dan tampak dua sosok yang aku kenali telah digotong menuju ambulans. Ya Tuhan, itu sopir Papa, dan ituuu Papaaaa, aku berlari mendapati Jasad Papa, “Papaaa, bangun Paaa, Dinan di siniii, Dinan menang Pa, Dinan bawakan Thropy untuk Papa.., Pa, Bangun Pa, Tuhan telah menjawab do’aku dan Do’a Papa, Dinan menang dan Papa datang.., Ayo Pa, Banguuun”, aku masih berusaha membangunkan Papa, berharap ini adalah mimpi, tapi ternyata, aku harus menerima takdir, Papa telah tiada tepat saat Papa akan bertemu denganku..
Oh Papa, aku ingin menyusulmu....
Tiba-tiba semuanya gelap dan aku tidak ingat apa-apa.
Bandar Lampung, 17 Oktober 2011
Kamar Inspirasi Al Barokah, 5 pm
No comments:
Post a Comment
Tinggalkan jejak setelah berkunjung yaa ...